6 April 2019. Tanggal itu akan selalu jadi titik balik dalam hidup saya. seseorang yang sudah saya kenal sejak masa putih abu-abu. Perjalanan kami tidak mulus—jarak antara Semarang dan Jakarta jadi saksi banyaknya rindu dan tantangan yang kami lewati selama masa kuliah. Tapi dari semua perbedaan itu, satu hal yang tak pernah berubah: keyakinan kami untuk membangun hidup bersama.
Setelah menikah, kami tak menunda kehadiran anak. Tapi ternyata, waktu berkata lain. Bulan demi bulan berlalu, dan belum juga ada tanda-tanda kehidupan kecil di dalam perut istri saya. Hingga suatu hari, dua garis samar muncul di testpack—buram, tapi cukup membuat kami haru. Itu awal dari segalanya. Sebuah anugerah kecil yang akan mengubah hidup kami selamanya.
Kehamilan itu kami jalani dengan hati yang ringan. Hampir setiap malam kami jalan-jalan ke mall, sekadar menikmati waktu bersama. Tak ada pantangan makanan, tak ada tekanan. Istri tetap bekerja, tetap aktif, dan saya selalu berusaha hadir di setiap kontrol dan pemeriksaan.
Semua terasa baik-baik saja... sampai tiba di minggu ke-34.
Setelah malam menikmati sate taichan—makanan favorit istri saya—besok paginya istri merasa pusing. Kami pikir itu hal biasa, tapi saat kontrol dan cek laboratorium, hasilnya mengejutkan. Tensi dan asam uratnya sangat tinggi. Dokter memutuskan: harus segera dilakukan tindakan operasi. Ini demi keselamatan ibu dan anak.
Deg-degan. Takut. Campur aduk. Terlebih saat mendengar bahwa istri harus masuk ICU malam itu, sementara saya tidak bisa menemaninya. Rasanya seperti gagal sebagai suami… tapi saya tahu, yang bisa saya lakukan hanyalah berdoa. Malam itu, saya hanya bisa menggenggam harapan dan memikirkan satu hal: nama untuk anak perempuan kami.
Pagi itu, saat-saat yang tak akan pernah saya lupakan. Saya dipanggil untuk tanda tangan persetujuan operasi, dijelaskan segala risiko—bahkan risiko terburuk. Rasanya ingin menutup telinga, tapi saya tahu, saya harus kuat.
Tak lama setelah operasi dimulai, saya melihat sebuah box bayi keluar dari ruang operasi. Suster memanggil saya, dan benar—itu anak saya. Alika Salwa Almahyra. Kecil sekali, hanya 1,6 kg. Ia langsung dibawa ke NICU. Saya belum bisa memeluknya. Tapi saya minta satu hal: untuk mengadzankannya. Dengan suara tercekat dan air mata yang tak bisa ditahan, saya lantunkan adzan di telinganya. Itu adzan paling ikhlas dan paling tulus sepanjang hidup saya.
Karena istri masih mengonsumsi obat untuk preeklampsia, ASI-nya belum bisa diberikan. Saya pun mencari donor ASI. Alhamdulillah, Allah kirimkan keluarga baik hati dari Bandung yang bersedia membagikan ASI mereka untuk Alika. Saya tak sempat mengenal mereka lebih dalam, tapi doa saya selalu menyertai keluarga mereka. Semoga Allah balas kebaikan mereka dengan berkah tak terhingga.
Istri saya pun perlahan pulih, tapi masih belum bisa berjalan. Sedih rasanya melihatnya, tapi saya tahu, saya harus jadi semangat terbesarnya. Beberapa hari kemudian, istri diizinkan pulang. Tapi Alika belum. Hati saya kembali hancur… 21 hari lamanya Alika harus dirawat di NICU.
Dan sekarang? Alika sudah berusia 5 tahun. Sehat, ceria, dan penuh cinta. Anak yang tumbuh di tengah pandemi, lebih banyak menghabiskan hari-harinya di dalam rumah, jadi pribadi yang pemalu dan sensitif. Tapi di balik sifat itu, saya bisa lihat bayangan saya dan ibunya—campuran dua dunia yang sekarang jadi satu di dalam dirinya.
Alika dibesarkan dengan penuh perjuangan dan cinta. Saya dan istri bekerja, dan Alika banyak diasuh oleh ibu saya, yang kami panggil Mbah Ti. Sosok yang tak bisa tidur jika mendengar cucunya demam. Sosok yang selalu menanyakan kabar Alika setiap hari. Sosok yang kini sudah tak lagi bersama kami…
Ibu… saya tahu Ibu masih mendengar dari sana. Alika baik-baik saja. Dia tumbuh jadi anak yang luar biasa.
Dan Alika, jika suatu hari nanti kamu membaca ini—ketahuilah, kamu adalah anugerah terbesar dalam hidup Ayah dan Ibu. Sejak kamu hadir, hidup kami berubah. Kamu mengajarkan kami arti cinta, kesabaran, dan harapan. Ayah tidak bisa menjanjikan dunia, tapi Ayah berjanji akan selalu ada, selamanya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar