Kamis, 24 Juli 2025

Ayah Bubu dan Alika

 6 April 2019. Tanggal itu akan selalu jadi titik balik dalam hidup saya. seseorang yang sudah saya kenal sejak masa putih abu-abu. Perjalanan kami tidak mulus—jarak antara Semarang dan Jakarta jadi saksi banyaknya rindu dan tantangan yang kami lewati selama masa kuliah. Tapi dari semua perbedaan itu, satu hal yang tak pernah berubah: keyakinan kami untuk membangun hidup bersama.


Setelah menikah, kami tak menunda kehadiran anak. Tapi ternyata, waktu berkata lain. Bulan demi bulan berlalu, dan belum juga ada tanda-tanda kehidupan kecil di dalam perut istri saya. Hingga suatu hari, dua garis samar muncul di testpack—buram, tapi cukup membuat kami haru. Itu awal dari segalanya. Sebuah anugerah kecil yang akan mengubah hidup kami selamanya.

Kehamilan itu kami jalani dengan hati yang ringan. Hampir setiap malam kami jalan-jalan ke mall, sekadar menikmati waktu bersama. Tak ada pantangan makanan, tak ada tekanan. Istri tetap bekerja, tetap aktif, dan saya selalu berusaha hadir di setiap kontrol dan pemeriksaan.

Semua terasa baik-baik saja... sampai tiba di minggu ke-34.

Setelah malam menikmati sate taichan—makanan favorit istri saya—besok paginya istri merasa pusing. Kami pikir itu hal biasa, tapi saat kontrol dan cek laboratorium, hasilnya mengejutkan. Tensi dan asam uratnya sangat tinggi. Dokter memutuskan: harus segera dilakukan tindakan operasi. Ini demi keselamatan ibu dan anak.

Deg-degan. Takut. Campur aduk. Terlebih saat mendengar bahwa istri harus masuk ICU malam itu, sementara saya tidak bisa menemaninya. Rasanya seperti gagal sebagai suami… tapi saya tahu, yang bisa saya lakukan hanyalah berdoa. Malam itu, saya hanya bisa menggenggam harapan dan memikirkan satu hal: nama untuk anak perempuan kami.

Pagi itu, saat-saat yang tak akan pernah saya lupakan. Saya dipanggil untuk tanda tangan persetujuan operasi, dijelaskan segala risiko—bahkan risiko terburuk. Rasanya ingin menutup telinga, tapi saya tahu, saya harus kuat.

Tak lama setelah operasi dimulai, saya melihat sebuah box bayi keluar dari ruang operasi. Suster memanggil saya, dan benar—itu anak saya. Alika Salwa Almahyra. Kecil sekali, hanya 1,6 kg. Ia langsung dibawa ke NICU. Saya belum bisa memeluknya. Tapi saya minta satu hal: untuk mengadzankannya. Dengan suara tercekat dan air mata yang tak bisa ditahan, saya lantunkan adzan di telinganya. Itu adzan paling ikhlas dan paling tulus sepanjang hidup saya.

Karena istri masih mengonsumsi obat untuk preeklampsia, ASI-nya belum bisa diberikan. Saya pun mencari donor ASI. Alhamdulillah, Allah kirimkan keluarga baik hati dari Bandung yang bersedia membagikan ASI mereka untuk Alika. Saya tak sempat mengenal mereka lebih dalam, tapi doa saya selalu menyertai keluarga mereka. Semoga Allah balas kebaikan mereka dengan berkah tak terhingga.

Istri saya pun perlahan pulih, tapi masih belum bisa berjalan. Sedih rasanya melihatnya, tapi saya tahu, saya harus jadi semangat terbesarnya. Beberapa hari kemudian, istri diizinkan pulang. Tapi Alika belum. Hati saya kembali hancur… 21 hari lamanya Alika harus dirawat di NICU.

Dan sekarang? Alika sudah berusia 5 tahun. Sehat, ceria, dan penuh cinta. Anak yang tumbuh di tengah pandemi, lebih banyak menghabiskan hari-harinya di dalam rumah, jadi pribadi yang pemalu dan sensitif. Tapi di balik sifat itu, saya bisa lihat bayangan saya dan ibunya—campuran dua dunia yang sekarang jadi satu di dalam dirinya.

Alika dibesarkan dengan penuh perjuangan dan cinta. Saya dan istri bekerja, dan Alika banyak diasuh oleh ibu saya, yang kami panggil Mbah Ti. Sosok yang tak bisa tidur jika mendengar cucunya demam. Sosok yang selalu menanyakan kabar Alika setiap hari. Sosok yang kini sudah tak lagi bersama kami…

Ibu… saya tahu Ibu masih mendengar dari sana. Alika baik-baik saja. Dia tumbuh jadi anak yang luar biasa.

Dan Alika, jika suatu hari nanti kamu membaca ini—ketahuilah, kamu adalah anugerah terbesar dalam hidup Ayah dan Ibu. Sejak kamu hadir, hidup kami berubah. Kamu mengajarkan kami arti cinta, kesabaran, dan harapan. Ayah tidak bisa menjanjikan dunia, tapi Ayah berjanji akan selalu ada, selamanya.

Selasa, 11 Juni 2019

Batu Loncatan


Sudah sekian lama gue melupakan sebuah kegiatan yang sebenarnya bukan sebuah hobi atau pekerjaan yang disukai, tetapi kadang-kadang dibutuhkan untuk sedikit meringankan beban fikiran yang sudah menumpuk dikepala. Tulisan terkahir dibuat yaitu tahun 2014 saat gue sepertinya masih kuliah di semester pertengahan yang pada saat itu juga sedang pusing memikirkan tugas akhir dan kelulusan. Pada akhirnya gue lulus dengan nilai yang cukup memuaskan pada bulan Agustus 2016. Mungkin tulisan ini gue tulis untuk flashback apa yang gue alamin semenjak kelulusan menyandang predikat sarjana hingga hari ini. Lulus Sarjana Teknik Sipil dengan IPK 3,09 dan dengan kemampuan yang masih dalam taraf rata-rata manusia normal di zaman ini menurut gue menjadi sesuatu yang kurang membanggakan, gue berfikir apakah akan mampu bertahan di dunia Kerja yang selalu berkembang secara cepat. Dengan menyampingkan fikiran tersebut gue coba untuk memulai karir pekerjaan setelah lulus.



Gue bekerja pertama kali sebenarnya bukan setelah lulus kuliah, yaitu saat masih kuliah gue pun sudah bekerja di sebuah konsultan perencana yang dimiliki oleh salah satu dosen di kampus gue, banyak ternyata dosen yang memiliki perusahaannya sendiri selain menjadi seorang dosen, dulu gue berfikir menjadi dosen adalah sesuatu yang sangat menjanjikan dalam hal ekonomi tetapi sepertinya tidak juga. Bekerja di konsultan perencana tersebut sampai gue lulus pun masih bekerja pada perusahaan tersebut, sebuah perusahaan kecil yang memfokuskan pekerjaan dalam bidang Sumber Daya Air.  Hingga pada akhirnya di suatu titik gue merasa jenuh dengan pekerjaan tersebut. Gue mencoba mencari pekerjaan lain dengan tujuan untuk mencari hal yang baru dan sebagai media untuk diri gue berkembang menjadi lebih dari sebelumnya. Tidak sampai satu tahun gue berkeja di perusahaan tersebut dan pada akhirnya gue resign pada Desember 2016. Banyak pengalaman yang gue ambil dari pekerjaan sebelumnya di konsultan perencana tersebut, Banyak teman-teman yang sudah seperti keluarga sendiri, dan banyak hal lainnya yang dapat diekenang. Dengan berfikir bahwa sudah saatnya gue berkembang dan lompat lebih jauh lagi untuk menggapai karier pekerjaan yang lebih dari sebelumnya.

Terkadang dalam sebuah hidup kita butuh sebuah batu loncatan untuk mencapai apa yang kita inginkan, seperti halnya yang gue alamin saat itu, bekerja di perusahaan konsultan kecil di sebuah kota di pulau jawa, gue jadikan sebuah batu loncatan untuk mencapai apa yang gue inginkan. Dan hal yang paling penting yang gue sadari saat itu adalah, lulus dari sebuah perguruan tinggi dan menyandang gelar sarjana dengan keilmuan yang telah dipelajari masih belum cukup untuk menjalani kehidupan di dunia kerja, gue dan temen-temen lainnya harus tetap belajar dan belajar, karena perkembangan informasi, ilmu dan teknologi selalu berkembang dengan sangat cepat. Saat lulus kuliah dan wisuda gue merasa bangga karena sudah lulus, saat masuk dunia kerja gue merasa bukan siapa-siapa, ijazah hanya selembar kertas yang menunjukan gue pernah kuliah bukan menunjukan gue memiliki pengetahuan dan ilmu.